Jumlah Pengunjung Saat Ini

Minggu, 25 Januari 2009

Identifikasi Sosiologis Melayu dan Seni Teater Modern di Riau


Melayu-


Kata atau nama Melayu telah dikenal dalam rentang waktu yang cukup lama. Kata atau nama Melayu telah disebut-sebut pada tahun 664/45 Masehi, dan muncul pertama kali dalam catatan (buku tamu) kerajaan China.[1

Melayu diartikan sebagai satu suku yang berasal dari Indalus (Sumatra) dan Seberang Sumatra (Malaka). Di Indalus atau Andalas terdapat kerajaan yang berhadapan dengan Pulau Bangka, di sana ada Sungai Tatang dan Gunung Mahameru serta sungai yang bernama ‘Melayu’. Rajanya bernama Demang Lebar Daun. Kata ‘melayu’ masih ditemui pada bahasa-bahasa di sekitar Palembang dan juga di Pulau Jawa; yang dihubungkan dengan kata ‘melaju’, atau ‘deras’,’kencang’. Kemudian ‘melayu’ dapat diartikan sungai deras aliran airnya; bisa juga ditafsirkan orang atau penduduknya pedagang yang gesit[2, dinamis. Melayu dapat pula berarti dagang; yang berarti orang asing. Bangsa Melayu identik sebagai seorang pedagang yang gesit. Fenomena kata ‘melayu’ yang kali kedua ini dan kemudian ditolak ukur dengan pernyataan ‘melayu’ pada poin pembahasan di pragraf sebelumnya juga sejalan dengan pernyataan dari catatan seorang biksu China bernama I tsing (Haan 1897; Schnittger 1939). Menurut catatan sang biksu, dia sempat mengunjungi Kerajaan Melayu sebanyak dua kali, yakni tahun 671 M dan 685 M.[3

Melayu juga diidentikan dengan Agama Islam. Yang disebut ‘orang melayu’ adalah orang yang memeluk agama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu; tidak ada orang Melayu yang tidak beragam Islam.[4

Tinjauan-tinjauan tentang suku Melayu tersebut di atas menggunakan metode pendekatan bahasa dan pemaknaan kata ‘melayu’ dalam arti kata. Metode tersebut sering pula disebut sebagai metode filologis. Dari hasil tinjauan tersebut tergambarlah bahwa melayu merupakan suatu suku yang berada di Pulau Sumatra dengan ciri suka berdagang dan sukses dalam pelayaran dagangnya. Kelokasian tempat dari asal-usul suku melayu ada dimana ? (tentang perkiraan suku Melayu ada di Sumatra Tengah), masih sangat kabur dan kurang jelas keberadaannya, atau: apakah ‘melayu’ hanyalah satu sebutan saja bagi seorang pelayar dan melaksanakan aktifitas perdagang pada masa dahulunya ?

Melayu pada tinjauan filologis hanya menafsirkan sebagai suku yang berasal dari Sumatra dan Seberang Sumatra (Malaka). Karena kebiasaan dagang suku tersebut maka persebaran adat mereka tersiar di Pulau Jawa dan seluruh Nusantara Indonesia juga di belahan bumi lainnya.

Melayu yang juga diidentikan dengan bahasa, adalah cikal bakal dari Bahasa Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa dasar dari pernyataan ini karena ‘Bahasa Melayu’ sudah akrab semenjak zaman dagang sebelum Nusantara menjadi Indonesia. ‘Bahasa Melayu’ digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan dagang tempo dulu. Fungsi Bahasa Melayu sebagai linguafranca[5 ini, persebarannya tampak meliputi budaya yang begitu luas, hampir meliputi seluruh daerah pantai di tepian lautan ‘pedalaman’ Indonesia.[6

Teks tulis dari Bahasa Melayu adalah huruf arab dengan struktur yang dituliskan berdasarkan ketetapan dengan pasal aturan tulis. Unsur yang mempermudah diterimanya akumulasi bunyi kedua bahasa (Arab dan Melayu) itu karena ada persamaan bunyi pada sebagian besar huruf yang ada dalam Bahasa Melayu dengan bunyi yang ada dalam Bahasa Arab.[7 Huruf Arab yang ditulis tanpa petanda baca tersebut sering pula disebut Huruf Arab Melayu (pegon). Penyebaran Bahasa Melayu meluas sejalan dengan pesat majunya perdagangan Suku Melayu itu sendiri.

Budaya Melayu banyak dipengaruhi Agama Islam. Melayu yang berkembang di Sumatra melingkupi kerajaan-kerajaan bekas Hindu dan Budha serta animisme[8 di nusantara. Adapun kerajaan–kerajaan itu antara lain : Samudara Pasai di Kalimantan, Sriwijaya di Sumatra, Aceh di Sumatra, Goa di Sulawesi, Aceh dan juga Riau Lingga.



Seni di Riau-


Khususnya di Riau yang kemudian merupakan salah satu wilayah temadun dari Budaya Melayu, bermukim bermacam-macam suku bangsa seperti Suku Melayu yang dianggap sebagai suku asli dan dominan, suku pendatang dari seluruh Indonesia dan suku-suku terasing. Di samping itu juga menetap di daerah ini bangsa pedagang dari luar negeri, yakni Cina. India, Arab dan Bangsa lainnya[9. Keragaman atmosfir kesukuan di Riau ini mengindikasikan terjadinya akulturasi budaya. Kebudayaan Melayu yang pada awalnya mendominasi berbaur dengan budaya bawaan lainnya yang ada di Riau.

Kerumpunan Melayu yang berkembang di Riau sangat mendominasi. Ini tidak dapat dilepaskan dari nilai sejarah pembentuknya. Kebudayaan Melayu yang begitu kental di wilayah Riau kemudian disinyalir sebagai suatu petanda sentiment yaitu tentang pusat Budaya Melayu. Oleh pemerintah setempat dan tentunya didukung oleh segenap Bangsa Indonesia, kemahawarisan Budaya Melayu yang mendominasi wilayah Riau ini menjadi sebuah proses pelacakan pusat Budaya Melayu semenjak beberapa tahun silam dengan sebuah misi publik yaitu : Riau adalah pusat dari Budaya Melayu Dunia pada tahun 2020 kelak.

Dominasi Budaya Melayu di Riau ini kemudian menjadi faktor sosiologis masyarakatnya. Hubungan sosial antar masyarakat Riau yang terdiri dari berbagai akar budaya yang saling berakulturasi telah menempatkan kemahawarisan Budaya Melayu sebagai filter [10budaya yang berkembang disana.

Keidentikan Budaya Melayu adalah peleburan budaya dan nilai norma Agama Islam. Agama Islam telah pula menjadi ciri lahirnya beragam bentuk kreatifitas seni sebagai bagian dari wujud Kebudayaan Melayu.

Seni di Kebudayaan Melayu adalah bagian dari nilai keindahan yang tertata apik dan tak lepas dari tuntunan nilai norma keislaman. Bentuk seni yang berkembang terdiri dari ragam budaya yang dibedakan dari faktor sosiologisnya. Kebudayan Melayu (yang juga berkembang di Riau) terdiri dari; 1) Kebudayaan Melayu Bangsawan, 2) Kebudayaan Melayu Lokal/ Rakyat.

Kebudayaan Melayu Bangasawan terbentuk dari hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungan Bangsawan/Istana Kemelayuan. Kebudayaan Melayu Lokal/ Rakyat terbentuk dari hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungan rakyat diluar wilayah istana. Bentuk-bentuk dari Kebudayan Melayu Bangsawan dan Kebudayan Melayu Lokal/ Rakyat itu diwujudkan dalam hubungan sosiologis masyarakat dalam kesatuan. Pola dari kedua bentuk Kebudayaan Melayu tersebut menciptakan bentukan ciri pada masyarakat pendukungnya masing-masing. Garis besarnya adalah Kebudayaan Melayu ada dalam ritus kehidupan masyarakatnya (lahir-hidup-kematian), ritual keagamaan dan adat, serta permainan adat dan kesenian.

Rangkaian pragraf berikut akan membatasi subjek pembahasannya yaitu kesenian ‘melayu’ yang berada di wilayah Riau.

Riau sejak dahulu sudah menjadi daerah lalu lintas perdagangan negara-negara tetangga, sehingga Riau melahirkan sosok dan warna budaya yang beragam. Hal ini merupakan beban, sekaligus berkah historis-geografis. Riau seakan-akan merupakan ladang perhimpunan berbagai potensi kesenian, yang di dalamnya terdapat pengaruh kebudayaan negara-negara tetangga dan kebudayaan daerah Indonesia lainnya. Kesenian Melayu Riau sangat beragam, karena kelompok-kelompok kecil yang ada dalam masyarakat juga berkembang. Perbedaan antara Riau Lautan dan Riau Daratan menunjukkan keanekaragaman kesenian di Riau. Hal ini sekaligus sebagai ciri khas Melayu Riau, karena dari pembauran kelompok-kelompok itu pandangan tentang kesenian Riau terbentuk.[11 Maka pada zamannya, Kebudayaan Melayu telah menjadi sistem yang berubah tiap waktu sesuai masyarakat pendukungnya yang juga mengalami perkembangan*

Kesenian adalah sebagai salah satu produk kebudayaan. Di Riau, terdapat beberapa bentuk kesenian diantaranya pertunjukan (teater, tari musik, dan nyanyian) dan sastra. Khususnya seni teater dalam kesenian pertunjukan di Riau terakumulasi pula dalam beberapa jenis dan bentukan (tercatat; yang telah identivikasi dalam proses pendokumentasian dan penginventarisasian) yaitu: Teater Bangsawan (Wayang Persi), Berdah, Berbalas Pantun, Dul Muluk, Nandung, Mak Yong, Mamanda, Mendu, Nandai, Randai Kuantan, Surat Kapal, Ranggung**

Teater modern di Riau adalah seni teater yang berkembang dengan ciri kedaerahan Riau (Kebudayaan Melayu sebagai identitas). Pada bagian berikutnya dari makalah ini akan disampaikan pandangan penulis terhadap perkembangan Teater Modern di Riau dimana penulis merupakan juga salah satu seniman teater dari latar keluarga Budaya Melayu di Riau, bertempat tinggal juga di Riau dan kemudian sejak tahun 2004 sampai sekarang mengurangi konsentrasi kegiatan kreatifnya di wilayah Riau karena alasan menempuh pendidikan (seni) diluar wilayah Riau.



Keterangan :
* ; perlu pembahasan lebih lanjut.
** ; beberapanya dalam proses penelitian dimana salah satunya (ranggung) juga dalam proses penelitian oleh penulis.


Teater Modern di Riau-


Menimbang perkembangan teater modern di Riau adalah menelaah sejengkal cerita yang sampai sekarang tidak pernah usai tuntas di tamatkan. Tentang fokus sajian pada bagian ini penulis memberikan beberapa alinea pragraf yang berisi tentang sudut pandang teater modern di Riau di tinjauan dari beberapa hal dengan berbagai ragam masukan dan referensi yang telah dikumpulkan dari berbagai pihak. Adapun teater modern di Riau ini akan coba di uraikan melalui tinjauan-tinjauan terhadap; 1) Sanggar-Komunitas Seni [teater] modern di Riau, 2) Tokoh Seni [teater] Modern di Riau, dan 3) Perkembangan Seni [teater] Modern di Riau dalam objektifitas berbagai Pementasan Seni [teater] di Riau.

Babakkan selanjutnya dari penelaahan teater modern di Riau adalah sajian dari penjelasan berbagai tinjauan tersebut diatas. Dengan mempertegas pernyataan (bahwa) Seni [teater] Modern di Riau adalah bentuk sajian seni teater sebagai pertunjukan[12 yang (secara objektif penulis) perkembangannya dipengaruhi oleh kaidah norma dan adat seni Melayu, dimana sebagai landasannya yaitu agama Islam.

Pelacakan Sanggar-Komunitas Seni [teater] modern di Riau menyematkan beberapa hal yaitu bahwa ragamnya terdiri atas Kelompok Sanggar yang cikal bakalnya adalah sebuah kegiatan klub atau ekstrakulikuler di sebuah sekolah, dan Kelompok Sanggar yang cikal bakalnya adalah komunitas seni. Sanggar dan komunitas tersebut mengandalkan supliran dana dari pihak – pihak yang berkenan dan memang berkewajiban akan kelangsungan keberadaan mereka. Hanya beberapa sanggar yang mampu bertahan dengan mengandalkan keuangan guna pendanaan kebutuhan sanggar-komunitasnya dari itensitas produksi kreatif. Beberapa sanggar yang kemudian sampi dengan sekarang mamou bertahan juga adalah sanggar tersebut memiliki salahsatu pemarkarsa atau seorang tokoh utama yang cukup berpengaruh dalam sanggar-komunitas tersebut. Berbeda dengan komunitas yang cikal bakalnya adalah sebuah komunitas seni, sanggar teater sekolah yang merupakan kelompok siswa/pelajar tergantung keberadaannya dengan sebuah system yang berada di sekolah tersebut dan jumlah keanggotaan dan pemerhati keberadaannya. Fenomena sanggar-komunitas teater yang cikal bakalnya adalah kegiatan klub atau ekstrakulikuler di sekolah adalah sebuah lingkaran kesinambungan yaitu hilang dan terbentuknya berjalan bersamaan dan selalu ada demikian.Kemudian sebuah fenomena yang menarik lagi adalah keberadaan tentang komunitas taeter kamus/ universitas, yaitu dimana kelomok ini adalah tidak bisa dikatagorikan sebagai kelompok sekolah dan juga tidak bisa pula dikatagorikan sebagai kelompok data komunitas umum. Komunitas teater kampus adalah sebuah kelompok mahasiswa-mahasiswi yang berminat untuk berkegiatan dalam kreatifitas teater. Keanggotaannya kebanyakan adalah purna dari kelompok komunitas teater sekolah dan masih bingung/mencari identitas dalam pemaknaan seni taeter sebagai sebuah komunitas independent.

Penulis menanggapi pula tetang keberadaan tentang komunitas teater yang dicatatnya sebagai komunitas teater festival yaitu keberadaan kelompok ini hanya bisa ditemukan pada saat diadakannya sebuah perhelatan festival teater dan kemudian setelah kegiatan festival tersebut usai, begitupula adanya usainya kegiatan komunitas tersebut.

Nama Alm. Idrus Tintin adalah seoarng sosok pendahulu perkembangan taeter modernd di Riau. Dalam dunia seni peran/teater, berbagai pengalaman telah ia peroleh dan berbagai sumbangsih telah ia berikan.[13 Ia adalah juga seorang penulis puisi dan naskah teater baik berupa saduran ataupun karya pribadi.[14

Kemudian beberapa nama-nama lain adalah tidak segaung dan segema nama-nama Alm. Idrus Tintin. Ini entah dikarenakan apakah seniman teater Riau adalah sosok lowprofile atau memang karena ketiadaan seniman teater lagi di riau ?.

Nama-nama tokoh teater riau yang lain memang ada, namun tak ada yang sampai melegenda dan meninggalkan banyak bekas yang dapat dikenang. Kemajemukan ini bisa jadi karena juga pengaruh budaya Melayu. Adanya hal tersebut yaitu dikarenakan pengaruh budaya Melayu yaitu pengagungan atas nama selain nama sang pencipta adalah sikap yang kurang terhormat.

Keragaman yang lain yang dapat disimpulkan dari tokoh teater Riau adalah ragam dari dua varian umum yaitu; tokoh teater yang mengetahui bentuk teater secara autodidak dan tokoh teater yang mengetahui bentuk teater secara autodidak dan akademik . Kebanyakan tokoh teater autodidak mendapatkan pengetahuan tentang teater adalah berdasarkan kegiatan teater tradisi yang menjadi bagian dari keseharian kegiatan yang ia lakukan bersama kelompoknya. Dengan adanya perkembangan teater hingga menjadi bentukan teater modernd maka tokoh – tokoh teater autodidak tadi mendapatkan banyak informasi yang lebih dalam ragam perkembangan karya-karya teaternya. Tokoh teater autodidak dan akademis adalah sosok dari beberapa orang yang menempuh jalur pendidiakan teater secara akademik dan juga memiliki latar pengetahuan teater dari ragam kegiatannya sebelum menempuh teater secara akademis. Ragam dari tokoh teater autodidak dan akademik adalah juga biasanya berlatarkan dari keanggotaan di sebuah kominitas teater.

Bersama dengan komunitas dan kelompok sanggarnya, tokoh – tokoh teater itu hanya sebagian kecil yang mementaskan karya secara berkala. Demikian pula dengan keberadaan kelompok teater sanggar sekolah yaitu itensitas pementasan mereka hanya berupa kegiatan festival dan peringatan hari-hari besar saja.

Merupakan suatu keuntungan sebenarnya yaitu keadaan geografi daerah Riau yang berada di lintas antar negara dan point of interest sebagai daerah budaya kerumpunan Melayu yang kental. Letak Riau sebagai lintas antar negara memungkinkan adanya bentuk akulturasi budaya yang mengimbas kepada perkembangan bentuk pementasan teater modernd Riau. Selain itu juga, perkembangan teater Riau akan mendapatkan suatu contoh keragaman dari berbagai macam perkembangan teater di luar wilayah. Sebagai point of interest daerah budaya kerumpunan Melayu pun memberikan warna yang berbeda dari contoh pertunjukan teater modernd di Riau. Namun hal ini belum bisa dimaksimalkan. alhasil adalah sekarang bentukan teater modernd di Riau masih sangat jauh tertinggal dari perkembangannya karena beberapa catatan penting di antaranya :
1. Alternatif tentang bentuk budaya Melayu yang mempengaruhi (secara langsung/tidak) teater modern di Riau tidak bisa dimaksimalkan untuk dijadikan sesuatu yang menciri khas,
2. Kelompok komunitas / sanggar teater di Riau hanya mampu memberikan tontonan yang terjebak kepada proses dilematis pendanaan dan ke-kurang-ahli-an pengelolaan produksi pementasan.
3. Tokoh teater Riau yang masih mempunyai anggapan yaitu teater hanya menjadi suatu kegiatan sampingan penghibur kebosanan, demikian pula keberadaan masyarakat Riau yang masih beranggapan teater hanya sebagai suatu bentuk tontonan hiburan.
4. Proses pembekalan tentang teater sebagai sarana komunikasi masa, belum menjadi suatu yang dapat di utamakan oleh pe-seni di Riau

Penulis menyadari bahwa kegelisahannya dalam makalah ini akan memberikan suatu dampak pada ketidaksetujuan dan pernyataan sikap oleh berbagai pihak pembaca. Perlu diadakannya alternatif diskusi yang berkelanjutan atas makalah ini agar tercipta suatu makalah yang sempurna dan bisa menjadi bentukan dari sebuah loncatan untuk proses pengidentifikasian sosiologis Melayu dan seni teater modernd di Riau.

Terimakasih.


[1 Prof. Suwardi MS,dkk, di kutip dari Lukman Harun, Mengembalikan Kejayaan Melayu di Indragiri (Yogyakarta, Alaf Riau bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Maret 2007), hal 4; Kata atau nama Melayu telah di sebut-sebut pada tahun 664/45 M., dan muncul pertama kali dalam catatan (buku tamu) kerajaan China. Menurut catatan itu, Melayu (ditulis “Moleyeo”) adalah nama sebuah kerajaan dan kerajaan itu telah mengirimkan utusannya ke begeri tersebut pada tahun ketika catatan ini di buat (Wolter 1967). Ada beberapa hal penting yang bisa di simpulkan dari catatan itu: pertama, Melayu adalah sebuah kerajaan; kedua, kerajaan tersebut adalah kerajaan yang berdaulat, sebab hanya kerajaan berdaulatlah yang bisa dan berwenang mengirim utusan (diplomatiknya) ke negara lain (apalagi ke sebuah negara adikuasa) untuk “sowan” yang biasanya juga bermakna adanya aliansi diplomatik atau politik; ketiga, “buku tamu” Kerajaan China tersebut tidak menyebutkan lokasi di mana Melayu atau kerajaan “Moleyeo” itu berada.
[2 Saleh Saidi, Melayu Klasik : Khasanah Sastra Sejarah Indonesia Lama (Denpasar, Larasan-Sejarah, April 2003), hal 22
[3 Prof. Suwardi MS,dkk, di kutip dari Lukman Harun, Mengembalikan Kejayaan Melayu di Indragiri (Yogyakarta, Alaf Riau bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Maret 2007), hal 5 : Menurut catatan sang biksu, dia sempat mengunjungi Kerajaan Melayu sebanyak dua kali, yakni tahun 671 M dan 685 M. Ada dua catatan penting dari Memoire I Tsing ini; sewaktu pertama kali ia mengunjungi Melayu, Melayu merupakan negara (kerajaan) yang merdeka (berdaulat), dan ketika kunjungan yang kedua Melayu telah menjadi bagian dari (ditaklukkan) kerajaan Sriwijaya.
[4 Ibid , hal 39
[5 Linguafranca: bahasa pengantar komunikasi
[6 Edi Sedyawati, Budaya Indonesia ; Kajian Arkeologi, Seni, Dan Sejarah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal 339 : Fungsi Bahasa Melayu sebagai linguafranca ini, persebarannya tampak meliputi budaya yang begitu luas, hampir meliputi seluruh daerah pantai di tepian lautan ’pedalaman’ Indonesia. Bahasa Melayu bahkan kadang-kadang masuk sebagai intrusi ke dalam karya-karya sastra daerah lain, seperti dalam sastra Jawa dan sastra Sunda. Bahasa Melayu pun dapat menjadi ‘benih’ bagi indentitas suatu kelompok etnik baru seperti orang Betawi (dari Batavia) di daerah Jakarta.
[7 Prof. Suwardi MS,dkk, di kutip dari Lukman Harun, Mengembalikan Kejayaan Melayu di Indragiri (Yogyakarta, Alaf Riau bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Maret 2007), hal 51
[8 Animisme: kepercayaan terhadap roh-roh
[9 Nursam. S, Ungkapan Tradisional Daerah Melayu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984/1985), hal 2
[10 Filter: alat penyaring
[11 Idrus Tintin dan B.M. Syamsuddin, Kesenian Riau dan Perkembangannya (makalah), Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya” bertempat di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia 17-21 Juli 1985.
[12 Dra. Yudiaryani, M.A. , Panggung Teater Dunia Perkembangan dan Perubahan Konvensi (Yogyakarta, Pustaka Gondho Suli, Cetakan Pertama 2002), hal 14 : Teater adalah pertunjukan. Namun apa yang dimaksud tepatnnya arti kata “pertunjukan”? Secara mudahnya, pertunjukan adalah sebuah urutan laku (aksi) yang dilakukan di suatu tempat untuk menarik perhatian, memberikan hiburan, pencerahan, dan keterlibatan orang lain yaitu penonton. Pertunjukan teater dapat dilihat melalui susunan unsur teater (Brockett, 1988) yaitu: apa yang dipentaskan (teks, skenario, atau transkrip); pementasan (termasuk semua proses kreasi dan presentasi); dan penonton. Setiap unsur tersebut penting, dan masing-masing mempengaruhi seluruh konsep tentang teater.
[13 www.melayuonline.com, Makalah “Kesenian Riau dan Perkembangannya”, Dalam dunia seni peran/teater, berbagai pengalaman telah ia peroleh dan berbagai sumbangsih telah ia berikan. Itu dimulainya sejak tahun 1943 saat bermain drama dalam bahasa Jepang produksi Raja Khadijah. Tahun 1944 di Tanjungpinang, ia menggelar sandiwara dengan ide cerita Nosesang, dimana cerita ini bertutur tentang kehidupan petani dan nelayan. Tahun 1945 di Rengat, beberapa kali ia bermain sandiwara bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah. Pada tahun 1952, ia kembali ke Tarempa dan mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama “Gurinda”. Untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan seni peran yang telah ia geluti, pada tahun 1959, ia memutuskan mengembara ke Pulau Jawa.
Di sinilah Idrus berkenalan dengan seniman-seniman Jawa antara lain; Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Teguh Karya, Chairul Umam, dan seniman lain. Pertemuan inilah yang menjadi titik tolak perkenalan Idrus dengan seni peran/teater modern/kontemporer. Selama berada di Jawa, ia sempat menjadi peserta dalam berbagai forum diskusi para seniman, baik formal maupun non-formal, terutama yang membicarakan tentang pemeranan dan penyutradaraan. Pada tahun 1961, Idrus Tintin kembali menetap di Rengat dan membentuk sebuah kelompok teater. Sejak menetap di Riau, setiap ada perayaan hari-hari besar, Idrus selalu tampil bermain teater. Tahun 1964, Idrus mengikuti Festival Drama di Pekanbaru yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Riau. Naskah yang dipentaskan adalah naskah Pasien. Tahun 1968, Idrus menyutradarai pertunjukan teater modern di Gedung Trikora Pekanbaru berjudul Tanda Silang. Tahun 1974, bersempena Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, Idrus menyutradarai pertunjukan teater kolosal di Balai Dang Merdu Pekanbaru dengan judul Harimau Tingkis. Pada tahun yang sama, ia bersama Armawai KH. menubuhkan wadah pembinaan teater di Riau yang diberi nama “Teater Bahana.”

[14 Ibid, Sebagai sosok seniman dan budayawan, Idrus Tintin telah banyak melahirkan karya, antara lain berupa sajak dan puisi yang terangkum dalam berbagai buku yaitu: Luput, adalah kumpulan sajak Idrus Tintin, berisi 26 sajak, dituliskan kembali oleh Armawi KH (tahun 1986). Burung Waktu, adalah kumpulan puisi Idrus Tintin, berisi 37 judul puisi, diterbitkan oleh Gramitra Pekanbaru (tahun 1990). Idrus Tintin Seniman dari Riau: Kumpulan Puisi dan Telaah, adalah kumpulan tiga judul puisi Idrus Tintin yaitu: Luput, Burung Waktu, dan Nyanyian di Lautan Tarian di Tengah Hutan (tahun 1996). Jelajah Cakrawala; Seratus Lima Belas Sajak Idrus Tintin, adalah kumpulan puisi Idrus Tintin (tahun 2003).
Selain karya-karya tersebut di atas, Idrus Tintin juga memiliki karya-karya lain berupa naskah teater dan pernah dipentaskan, yaitu: naskah cerita berjudul “Buih dan Kasih Sayang Orang Lain”, Naskah cerita berjudul “Bunga Rumah Makan”, naskah cerita berjudul “Awal dan Mira”, naskah cerita berjudul “Pa­sien”. Kesemuanya ditulis dan telah dipentaskan dalam sebuah pementasan di Tanjungpinang.