Jumlah Pengunjung Saat Ini

Rabu, 21 Januari 2009

ULASAN PEMENTASAN TEATER
Sebuah Langkahan Perkembangan Teater Modern Riau
Opera Tun Teja di Anjung Seni Idrus Tintin, Bandar Serai, Riau dan Pralya di Taman Budaya, Riau.

Gegap gempita semangat mematenkan Riau sebagai Pusat Melayu Dunia tahun 2020 kelak menghantamkan pula sebuah gelombangperubahan kea rah perkembangan yang lebih baik kepada dunia seni di Riau. Selain telah berdiri sebuah gedung pertunjukan yang kemudian di nobatkan menjadi satu diantara gedung pertunjukan yang paling memadai serta repersentatif yaitu gedung Anjung Seni Idrus Tintin, di kompleks Bandar Serai yang juga merupakan kawasan dari Kampus Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR)
Tidak hingga sampai di situ saja, bahwa kemudian telah pula dihelat sebuah karya teater Modern dengan konsep yang dikemas dalam Opera Multivisual dengan mengangkat sebuah kisah Hikayat Hang Tuahyang begitu akrab di kalangan masyarakat Melayu. Walaupun pementas itu kemudian telah terjadi pada pertengahan Agustus 2007 silam, namun hingga pada pengawal tahun 2009 ini menurut beberapa kalangan seniman yang berkonsentrasi pada Budaya Melayu adalah salah satu keungggulan dalam dunia teater modern di Riau yang merupakan pula hasil kreatifitas dari seniman Riau sendiri.
Menyikapi hal tersebut, sejujurnya saya selaku penikmat pertunjukan teater yang kebenaran berasal dari Riau dan sampai sekarang masih berkhitmat sebagai salah satu dari mahasiswa di Jurusan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan , Institut Seni Indonesia Yogyakarta sedikit kecewa kepada sahabat saya yang menyutradarai pertunjukan Opera Tun Teja tersebut. Oleh Marhalim zaini yang juga merupakan alumnus dari ISI Yogyakarta dan kini telah menjadi Ketua Jurusan Teater di AKMR serta pernah pula dinobatkan menjadi SPN (Seniman Pemangku Negeri), Opera Tun Teja saya anggap cacat dan gagap dalam persentasi karyanya.
Opera Melayu Tun Teja yang diproduksi Bandar Serai Orchestra, Yayasan Kesenian Riau dan CIOFF Riau Section dipadati hampir 400 pengunjung dan tentunya saya salah satunya. Opera ini bercerita tentang Hikayat Hang Tuah. Dalam opera ‘Tun Teja’ yang lebih mencuatkan tema perempuan dan kekuasaan. Tun Teja, puteri Bendahara Pahang yang cantik jelita telah dijadikan ‘alat’ bagi Hang Tuah untuk menunjukkan baktinya kepada Sultan. Meski kecewa, Tun Teja tak bisa berbuat apa-apa karena ia dipengaruhi lewat kekuatan guna-guna. Kesetiaan Hang Tuah kepada Sultan ternyata tak berlangsung lama. Sebuah fitnah merusak hubungan yang erat Sultan dan Hang Tuah. ‘Pahlawan’ Melaka ini pun terbuang ke sebuah tempat yang terpencil. Sikap Sultan memicu kemarahan Hang Jebat, teman baik Hang Tuah. Jebat pun mendurhaka kepada Sultan dan merebut Tahta. Tapi sayang, kekuasaan yang berhasil direbut Jebat justru membuatnya mabuk. Kekuasaan telah merubahnya menjadi sosok yang rakus. Sementara itu, hati Tun Teja pun semakin sedih karena dituduh permaisuri Sultan terlibat dalam pemberontakan Hang Jebat. Namun Tun Teja membantah terlibat dan mengatakan bahwa jatuhnya Sultan adalah akibat sikapnya sendiri. Sebagai perempuan yang terhempas dan terampas, Tun Teja mengajak permaisuri menggugat nasib perempuan yang hanya jadi korban dalam kekuasaan. Akhirnya, untuk menghentikan Jebat yang mabuk dengan kekuasaannya, Hang Tuah pun dijemput kembali. Hang Tuah pun bersedia karena dalam prinsip hidupnya, kesetiaan adalah segalanya.
Yang perlu dicermati dari bentuk pementasan teater modern dengan konsep Opera Melayu Tun Teja ini adalah ketika akhirnya label ‘Opera’ dan kemudian disejajarkan denga pautan kata ‘Melayu’ masih jauh dari harapan saya selaku penonton. Walaupun pada akhirnya usaha kreatifitas SPN Marhalim Zaini dan kru kreatif ingin menampilkannya secara maksimal pertunjukan tersebut namun keadaan daya tak berimbang dengan upaya mereka. Lalu saya mengambil kesimpulan bahwa Opera Melayu Tun Teja adalah sebuah garapan tempelan antara kesatuan yang bisa dinikmati sesukanya. Di Opera Melayu Tun Teja tersebut saya bisa menikmati; 1) suguhan musik orchestra yang (kurang atmosfer Melayunya) oleh SPN. Zuarman Ahmad selaku composer Banadar Serai Orkestra (BSO), 2) gianscrean yang menampilkan visual latar dan juga menjadi tempat dijatuhkanya siluet untuk beberapa adegan, 3) parade kostum pakaian adat Melayu oleh para pelaku, serta 4) pentas tata lampu yang indah. Instrumen pendukung dari pertunjukan ini saja sebenarnya sudah sangat menakjubkan, apalagi kalau saja berhasil diciptakan kesatuan yang lebih baik.
Satu hal lagi yang saya rasakan bahwa adanya perasaan muatan pesan (Opera Melayu) yang akan disajikan tidaklah sampai tuntas dilangsir dalam pementasan. Disatu sisi pada awlanya saya mengarapkan bahwa dengan pementasan ini akan tercipta warna tersendiri dan bisa dielu-elukan sebagi warna lokal (baru) teater modern di Riau. Namun saya hanya mendapatkan sebuah pertunjukkan warna yang sama dari berbagai pentas teater modern (Riau) yang pernah saya lihat: yaitu cacat dalam pemaknaan kontekstual ke taraf penyapaian yang terlalu terkungkung dengan keagungan Budaya Melayu.
Akhiran bulan Oktober 2008 dalam Festival Gelora Teater Riau oleh Mini Teater Kota Rengat 1989 di Taman Budaya Riau dipentaskanlah sebuah teater modern dengan ruang konsep antrophologi teater. Naskah yanng dipentaskan adalah ‘Pralaya’ karya Fadli Azis yang juga bercerita tentang hikayat Hang Tuah namun dalam pendekatannya dengan tokoh Hang Jebat. Didukung dengan multivisual yang sederhana dan juga pelaku musik yang bermain rangkap dalam setiap intstrument alat musik, pentas ini dinombatkan menjadi pemenang Festival. Persentasinya adalah sebuah pengembang dan penggelembungan makna cerita yaitu pengkhianatan yang berujung kepada kehancuran. Yang bisa dijadikan pencermatan adalah kelompok Mini Teater Kota Rengat berhasil menyajikan Pralaya menjadi bagian yang utuh dengan seluruh unsur pendukungnya dan lebih berjaya dapat diterima dengan mudah dan dimengerti oleh penontonnya sebagai sebuah pementasan teater modern.
Pralaya disajikan dalam durasi pementasan selama 90 menit, dengan penggabungan unsur tari, musik, sastra lisan, dan tentunya aksi para aktor-aktrisnya yang didukung pula dengan tata artistik multimedia oleh para kru panggung. Titik berat dari sajian Pralaya adalah tuntutan keaktoran yang harus mampu tuntas dalam masalah keaktorannya. Sajian Pralaya menciptakan ruang yang akhirnya (dirasakan) oleh penontonnya bahwa dirinya selain daripada menikmati tapi juga menjadi bagian dari pertunjukan tersebut. Pengaktualan naskah Pralaya pada wilayah pementasannya diakui oleh pengarangnya Fedli Azis bahwa “mini taeter telah cukup berani dan mengembangkan tafsir yang sebenarnya cukup sederhana kepada masalah kekinian yang sangat global”. Bahwa oleh Mini Teater Kota Rengat 1989 yang mana merupakan salah satu sanggar teater yang berdiri secara independent ini, pementasan Pralaya telah di identikkan dengan ciri penampilan sanggar tersebut yang selalu menggunakan unsur pola lantai dan pola tubuh pelakon sebagai media yang diutamakan. Walaupun tidak baru lagi (dikarenakan telah di gunakan lebih dahulu oleh pementasan Opera Melayu Tun Teja), konsep multimedia pada pementasan Pralaya lebih dapat dirasakan lebih tertata dan belum lagi pembebasan makna tafsir yang disajikan kepada penonton Pralaya lebih kursial dan multitafsir sesuai dengan sudut pandang masing-masing penonton yang menikmati tontonan tersebut dari berbagai batasan pola. Pralaya juga dengan nyata-nyata dipentasakan dalam situasi yang sebenarnya mencemooh atau mengejek seni teater modern (Riau) yang terkungkung pola ke-melayu-an pada setiap pementasannya. Dalam situasi demikian, Pralaya berhasil menyadarkan pelaku teater modern di Riau bahwa perkembangan teater modern di Riau belum bisa di anggap layak dan jauh ketinggalan dibandingkan dengan berbagai pementasan teater modern lainnya yang berada diluar Riau.
Pementasan Opera Melayu Tun Teja disandingkan dengan Pementasan Pralaya adalah sebuah dimensi yang jauh berbeda satu dengan lainnya. Tun Teja dengan segala kemegahan aspek pendukungnya telah menarik hati penonton karena sebagai salah satu dari pentas teater termegah, sedangkan Pralaya dalam pentas festival telah menarik hati penonton karena ketelitan dalam penyajian. Sebuah karya teater yang bagus menurut saya adalah sebuah karya yang berhasil dinikmati dengan baik oleh penontonnya, dan memberikan imbas perubahan yang disebut katarsis (pensucian-pembersihan) jiwa para penontonnya. Dan pentas Opera Melayu Tun Teja dan Pralaya sama-sama bisa dinikmati dengan baik.