Jumlah Pengunjung Saat Ini

Jumat, 15 Mei 2009

DRAMATURGI

DRAMATURGI
Genre Drama

Dua genre yang utama sejak masa Yunani adalah tragedi dan komedi. Disamping itu terdapat pula genre-genre melodrama, farce, tragikomedi, komedi gelap, sejarah, dokumenter, dan musikal yang sekarang keihatan menjadi genre utama dalam drama modern.1 Adapun pengertian dari genre-genre tersebut adalah:
a)Tragedi
Tragedi dikategorikan dalam drama serius dengan topik yang bermakna kemanusiaan universal sebagai temanya, yang mana tokoh utama atau tokoh melawan penderitaan, mundur dan selalu mati. Secara tradisional, tragedi melibatkan keruntuhan atau kehancuran tokoh yang statusnya tinggi. Tragedi menimbulkan rasa kasihan dan teror terhadap penonton, dan merespon pemecahan dalam apa yang dijelaskan Aristoteles tentang Catarsis, atau ”pembersihan jiwa”. (untuk teori tragedi, lebih lanjut lihat lampiran). Adapun contoh-contoh drama tragedi antara lain dalam drama Trilogi karya dramawan Yunani Sophocles, yakni Oidipus Sang Raja, Oidipus di Kolonus dan Antigone. Begitu pula lakon King Lear karya dramawan Inggris William Shakespeare.
b)Komedi
Komedi merupakan drama humor dengan sebuah tema penting, yang mana tokoh atau watak mempertentangkan diri mereka sendiri dan yang lain dengan akhir yang menimbulkan kelucuan. Komedi dapat menjadi kuat, bergairah, bernuansa remeh dan bergerak, tetapi organisasi pengalaman dramatiknya sama sekali menopang rasa kasihan atau teror dan mendatangkan tawa terbahak-bahak. (untuk teori komedi dan berbagai perbedaannya, lebih lanjut lihat lampiran).
Contoh drama komedi, diantaranya adalah Pinangan karya Anton Chekov.
c)Melodrama
Melodrama merupakan drama serius dengan tema yang sepele. Tokoh protagonis dalam bentuk populer yang menyenangkan dan menghibur ketimbang heroik, bajingan atau penjahat yang tidak kompromi dan sangat tidak menyenangkan. Melodrama menghadirkan pertentangan yang sederhana atau simple dan terbatas antara baik dan buruk ketimbang penggambaran maupun penjelasan yang lengkap terhadap penderitaan dan aspirasi kemanusiaan yang universal. Drama dalam genre ini jarang menopang akhir yang tidak menyenangkan, jarang berhubungan dengan katarsis, dan bertipe akhir dengan kekosongan pikiran, tetapi pertunjukannya suatu kemenangan yang menawan hati dari ”orang yang baik”.
d)Farce
Drama humor --dan ini lebih luas kehumorannya-- dalam tema yang sepele, biasanya seseorang yang sepenuhnya familiar terhadap penonton. Kekeliruan identitas, percintaan yang ditabukan atau cinta gelap, kesalahpahaman yang bertele-tele --ini merupakan cap yang berikan pada farce. Anak kembar satu telur, bercinta dalam WC atau di bawah meja, kejar mengejar di seantero panggung, tukar menukar minuman, tukar menukar pakaian (kadang-kadang laki-laki memakai pakaian wanita atau wanita berpakaian laki-laki), instruksi yang salah dengar, dan beragam adegan membuka pakaian, penemuan, bentuk yang dapat tahan lama secara kekal dan sejak zaman dulu kala.
e)Tragikomedi
Sebuah nama yang menunjukkan, bentuk yang mencoba untuk menjembatani tragedi dan komedi. Ini menegakkan tema serius secara keseluruhan tetapi bermacam-macam pendekatan dari serius hingga humor, dan dengan penyimpulan tanpa katarsis yang berat sekali yang mana penontonnya dibawa untuk menduga-duga. Ini juga dapat dikatakan “tragedi yang berakhir dengan kegembiraan”.

f)Komedi Gelap
Sama dalam tema dan pendekatan terhadap tragikomedi, tetapi dengan akibat pada bagian depan: “Komedi yang berakhir secara tragis”, yang kadang-kadang pengertian yang sangat tepat dari usaha yang sangat modern untuk menggabungkan komedi dan tragedi.
g)Historis
Lebih jauh dilatarbelakangi oleh William Shakespeare, meskipun sedikit drama yang tepat berkategori ini yang ditulis sebelumnya. Drama dalam genre ini menyuguhkan peristiwa sejarah dengan cara yang sangat serius dan terhormat. Drama sejarah Shakespeare terutama dipusatkan pada sejarah Inggris (kira-kira) tahun 1377 hingga 1547, dan secara khusus dengan kehidupan dan perjuangan raja-raja Inggris seperti Richard II, Henry IV, Henry V, Henry VI, Richard III, dan Henry VIII. Drama serius ini didasarkan pada banyak seluk beluk humor, tetapi tidak mencapai katarsis tragedi klasik atau mengesampingkan humor komedi.
(h) Dokumenter
Merupakan sebuah genre yang masih dalam pengembang-an, yang mana banyak penemuan otentik yang secara relatif digunakan sebagai dasar untuk menggambarkan peristiwa sejarah yang baru saja terjadi. Catatan pemeriksaan pengadilan, laporan berita dan gambar, rekaman orang-orang dan pegawai yang di susun sebagai dokumentasi yang membawa kehidupan suatu persoalan khusus dan sudut pandang. Pemeriksaan pengadilan yang terkenal --yakni J. Robert Oppenheimer, John C. Scopes, Adolph Eichmann, gang ”Zoot Suit”, Leopold dan Loeb, skandal Watergate maupun skandal sex Bill Clinton-Lewinsky, skandal Bank Bali, Johny Indo, Marsinah, sebagai contoh-- merupakan sumber material untuk dramatisasi dokumenter.
(i) Musikal
Genre yang dibagi oleh kepercayaan yang luas dalam musik, khususnya dalam nyanyian. Musikal biasanya digabungkan dengan genre lain untuk menciptakan komedi musikal (yakni, komedi dengan nyanyian, semacam Guys and Dolls), dokumentasi musikal (semacam Oh, What A Lovely War!, yang diinspirasikan oleh kejadian Perang Dunia I), atau sejarah musikal. Sebuah latar tragedi untuk disebut opera besar; farce musikal secara umum di sebut opera terang atau operatta.

DRAMATURGI
Ilmu yang Mempelajari Hukum-hukum Drama

Unsur Dramaturgi
Tema: Inti atau pokok dalam suatu drama atau lakon
Alur/Plot: Kerangka penceritaan yang mengubah jalannya cerita
Karakter/Penokohan: Watak suatu tokoh cerita
Latar/Setting: Tempat terjadinya peristiwa
Pada saat sekarang ini timbul keraguan, apakah dramaturgi masih penting dalam dunia seni pertunjukan, khususnya dalam memahami dunia drama. Pertanyaan ini muncul seiring dengan lahirnya kreativitas-kreativitas atau temuan-temuan baru manusia, yang menunjukkan betapa dramaturgi itu harus dipandang dengan cara yang lain. Cara lain tersebut adalah menempatkan dramaturgi itu sejalan dengan perkembangan kreativitas manusia, dan berangkat dari perkembangan yang tumbuh dalam semua kesenian, khususnya dalam seni pertunjukan. Hal ini penting artinya, karena dramaturgi sebagai sebuah disiplin ilmu harus mampu menjawab berbagai persoalan yang muncul bersamaan dengan perubahan paradigma yang terjadi, dan agar dramaturgi benar-benar menjadi disiplin yang multidisipliner.
Pada dekade sembilan puluhan, dramaturgi di Indonesia mulai mendapatkan perhatian khusus. Hal ini berangkat dari situasi perkembangan dunia pendidikan seni yang semakin meningkat. Untuk itu dibutuhkan seorang ahli dalam seni pertunjukan yang kemudian disebut “Dramaturg”, guna membandingkannya dengan ahli seni rupa yang menyeleksi karya-karya terbaik dalam seni rupa, yakni seorang “kurator”.
Dramaturg profesional pertama menurut Kenneth Macgowan dan William Melnitz adalah dramawan dan kritikus drama Jerman, Gotthold Ephraim Lessing. Lessing menulis 104 karya kritik yang dikemudian dikumpulkan dalam sebuah buku, Die Hamburgische Dramaturgie2. Peran seorang dramaturg professional ini sangat penting artinya dalam melakukan berbagai telaah serta menemukan kaidah yang dimiliki oleh sebuah karya seni pertunjukan, dan bukan semata-mata karya drama.
Selain di Indonesia, di beberapa negara Eropa dan Amerika, keberadaan dramaturgi ini juga mendapatkan perhatian khusus. Bahkan, terdapat sebuah situs internet yang memberikan informasi tentang perkembangan mutakhir dalam dramaturgi, yakni www.dramaturgy.net. Siapapun dapat mengakses situs ini untuk mendapatkan informasi, baik berupa buku, jurnal maupun dialog yang berkaitan dengan dramaturgi, termasuk pelayanan untuk mengadakan semacam pelatihan. Sumber-sumber dramaturgi yang tersebar luas itu, di Indonesia masih sangat terbatas penggunaannya. Sumber dalam bentuk buku berbahasa Indonesia dan ditulis pula oleh orang Indonesia, hanya dijumpai pada buku RMA Harymawan yang berjudul Dramaturgi. Beberapa buku yang lain tidak lebih dari sepuluh judul buku yang berbicara tentang dunia drama dan berbagai upaya mempersiapkan pertunjukan teater. Kesemuanya itu perlu direvisi kembali, karena beberapa bagian diantaranya sudah tidak berlaku lagi, atau telah mengalami pergeseran pemahaman yang signifikan.
Ketertarikan terhadap dramaturgi juga terjadi pada dunia ilmu sosial. Seorang sosiolog Amerika, Erving Goffman misalnya, melahirkan pendekatan dramaturgis untuk melakukan penelitian sosial. Pengaruhnya sangat besar, termasuk dalam penelitian dengan pendekatan interaksionis simbolik.3 Disiplin ilmu yang mulai memanfaatkan jasa dramaturgi adalah ilmu komunikasi, psikologi, maupun seni pertunjukan. Sedangkan, dalam politik pun sering kita temui istilah dramatisasi persoalan, dramatisasi konflik, dramatisasi politik, dan sebagainya. Para pengguna dramaturgi pun tidak surut dan habis begitu saja seiring dengan berkembangnya perfilman dan sinetron-sinteron yang memborbardir dunia rumah tangga kita.
Dramaturgi itu sendiri, sebagaimana ditulis oleh RMA Harymawan dalam bukunya Dramaturgi4 adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum dan konvensi drama. Hukum-hukum drama tersebut mencakup Tema, Alur (plot), Karakter (penokohan), dan Latar (setting). Namun demikian, pemahaman dramaturgi itu tidak berhenti pada hukum-hukum dan konvensi yang telah menjadi klasik tersebut. Karena, perkembangan yang cukup besar dari dunia drama itu sendiri, maka tentu sejumlah hukum dan konvensi itu memiliki upaya pula untuk melakukan beberapa ”penyesuaian” yang selaras dengan kehidupan dan jalan pemikiran manusia. Meskipun perkembangan tersebut memiliki beberapa kritik, namun tetap memiliki kemungkinan dalam mengapresiasi kenyataan yang berubah di tengah-tengah masyarakat penggunanya. Kenyataan bahwa dunia drama itu telah berkembang berabad-abad tentulah tak dapat dipungkiri memiliki banyak “produk” yang dapat menjadi model atau bahan untuk dianalisa. Disamping itu, telah banyak pula lahir para dramawan maupun para penulis drama yang memiliki pengaruh besar terhadap perubahan zamannya. Di Indonesia kita mengenal Putu Wijaya, Arifin C. Noor, Iwan Simatupang, Wisran Hadi, Kirjomulyo, Akhudiat, dan masih banyak lagi.
Konsepsi Dramaturgi klasik Aristotelian yang diikuti kalangan neo-klasisisme, yakni kesatuan dramatik yang merupakan suatu cerita yang terjadi di satu tempat dan waktu yang tak lebih dari satu kali dua puluh empat jam, peristiwa-peristiwa dan adegan-adegan secara beruntun, diikat dengan ketat satu sama lain oleh hukum sebab akibat. Kalangan penganut Sturm und Drang atau Storm and Stress (secara harfiah berarti Topan dan Tekanan) melakukan perubahan mendasar. Pemberontakan ini berangkat dari Gefuh ist alles, yakni perasaan adalah segala-galanya, seperti diungkapkan oleh Wolfgang von Goethe pada masa mudanya. Dramawan-dramawan Sturm und Drang cenderung menggambarkan manusia sebagai makhluk yang tingkah lakunya ditentukan oleh semangat yang berkobar-kobar, emosi yang kuat, nafsu yang meluap dan menghanyutkan5 . Maka mudah ditemukan adegan-adegan yang luar biasa, resah, penuh kekerasan, hujatan pedang dan belati, darah dan racun. Itu pulalah sebabnya, gerakan ini kemudian melahirkan gagasan romantik dalam drama dan teater. Plot atau alur cerita bersifat episodik.

Ringkasan
1.Pengertian drama muncul sebagai bagian dari upaya untuk memahami kehidupan. Namun demikian, banyak pengertian-pengertian drama yang saling bertolakbelakang, sehingga terjadi kesimpangsiuran. Upaya yang cermat melalui pengklasifikasian terhadap karya drama tersebut, memungkinkan suatu pengertian yang komprehensif dapat ditemukan.
2.Drama dimengerti mulai dari konteks sebagai salah satu genre sastra hingga ke pertunjukan teater. Sebagai sebuah karya sastra, drama berkaitan erat dengan adanya media lain, seperti teater, radio maupun televisi dan film.
3.Dalam mengembangkan dramaturgi tersebut dibutuhkan pula para dramaturg professional untuk menelaah kaidah-kaidah seni pertunjukan.
4.Dalam play atau drama terdapat genre seperti tragedi, komedi, melodrama, farce, targikomedi, sejarah, dokumenter, dan musikal. Masing-masing genre memiliki kekhususan dalam bentuk dramatiknya.
5.Pemahaman dramaturgi sangat dibutuhkan oleh sutradara dan aktor dalam memasuki wilayah penonton.

Topik Diskusi
1.Sebutkanlah pengertian drama yang relatif lebih realistik pada masa sekarang ini.
2.Sebutkan perbedaan mendasar konsepsi Dramaturgi Aristotelian dan pemberontakan Dramaturgi Wolfgang von Goethe.
3.Sebutkanlah bagaimana cara kerja seorang dramaturg profesional, agar sebuah karya seni pertunjukan dapat mencapai sasarannya secara maksimal.
4.Apakah yang membedakan antara genre drama Tragedi dengan Melodrama, dan Komedi dengan farce, sebutkan contoh dari naskah drama yang mengindikasikan genre ini.
5.Bagaimanakah dramaturgi seharusnya dipahami dan dipergunakan

Minggu, 10 Mei 2009

malam jahanam "#1 sewon Yogyakarta"




serikat kacamata hitam, "SSDR Te"







pralaya, "MINI TEATER" perubahan sejarah "Teater Riau"






perubahan itu kadang sangat menyakitkan

Teater Kita, Dulu, Kini dan ke Depan
(Catatan dari Gelora Teater X DKR 2008)
Oleh Taufik Effendi Aria


GELORA Teater X yang ditaja oleh Dewan Kesenian Riau (DKR), dari tanggal 26 sampai 28 Juni 2008, bertempat di Gedung Serba Guna Pusat Pengajian Kebudayaan Propinsi Ria, perul catatan khusus. Pertama kegiatan ini terlah berjalan secara ritin tanpa putus selama satu dasawarsa; kedua, para peserta dari tahun ke tahun tetap memperlihatkan semangat yang menggelora, walapun dengan kemampuan yang bervariasi.
Yang paling menarik untuk dicatat ialah adanya beberapa grup yang mencoba keluar dari tradisi perteateran Riau selama ini, disamping ada juga grup yang konsisiten mempertahankan ketradisionalannya.
Dalam catatan singkat ini terlebih dahulu saya mencoba menguak sepenggal sejarah perjalanan seni teater di Riau, semoga dengan demikian akan membuka selera, terutama bagi orang-orang teater untuk lapar dan haus terhadap teater yang bersaing dan berdamping dengan teater-teater lain diluar Riau.
Sejak awal tahun 60-an sampai dengan 80-an, istilah teater pada masa-masa itu belum popular, bahkan belum dikenal sama sekali. Yang dikenal pada masa-masa itu, ialah istilah drama. Istilah drama ini mengalahkan popularitas istilah sandiwara yang berkembang sejak zaman penjajahan.
Pada era 60-an sampai denganera 70-an, di Riau pada umumnya dikenal istilah drama modern dan drama klasik. Kedua bentuk daram ini mengacu kepada metode teater Barat, yang lazim disebut dengan teater konvensional. Proses pergelarannya diawali dari naskah yang sengaja di dalam bentuk percakapan dan sedikit petunjuk yang ditulis dalam tanda kurung. Biasanya disebut dengan reportoa (alih aksara).
Dari teater kinvensional inilah selanjutnya kita mengenal istilah-istilah, seperti reportoal naskah-lakon, penyutradaraan, tokoh/karakter, design artistik (set/dekorasi, properti, tata-cahaya, tata-rias, tata-busana).

Perbedaan Drama Modern dan Drama Klasik
Drama modern ceritanya diangkat dari fenomena kehidupan sehari-hari. Sedangkan drama klasik diangkat dari cerita-cerita rakyat, baik dalam bentuk legenda, dongeng, hikayat, dan kehidupan sekitar istana, seperti Batang Tuaka (Tendra Rengat), Lancang Kuning (Tenas Effendi), Merbau Bersiram Darah (?), Hang Tuah (Tenas Effendi), Megat Sri Rama (?), Burung Tiuang Sri Gading (Hasan Junus) dan lain sebagainya. Disamping itu drama klasik nuansa lokalnya lebih kental dan terasa, nuansa ini berbias dari dialog/percakapan para tokoh yang selalu mempergunakan bahasa bersajak(berirama), pantun dan syair. Juga diperkuat oleh kostum yang dipakai oleh para tokoh, seperti tanjak/destar, baju teluk belangga, kebaya labuh dengan kain bertenun dan atribut lainnya. Setting (latar belakang, tempat dan waktu kejadian) pada umumnya berupa istana sentris.
Untuk pelaksanaan Gelora Teater X panitia mengirimkan beberapa naskah/sastra lakon untuk dibawakan oleh setiap peserta. Naskah-naskah tersebut diambil dari hasil sayembara penulisan naskah lakon yang secara rutin juga diselenggarakan oleh DKR.
Sepintas lalu, nampaknya naskah yang dikirim didominasi naskah dalam bentuk drama klasik. Terkecuali dua naskah yang berjudul Keletah Kempunan karya M. Paradison dan Pecundang (Fadli Aziz). Tapi jika diamati secara teliti dan seksama, naskah-naskah yang dikirimkan cukup terbuka luas untuk menampilkan bentuk pementasan yang lebih variatif, tidak stereo type (pengulangan-pengulangan) bentuk drama klasik masa lalu. Memang tidak mudah. Diperlukan keberanian, pengalaman, wawasan dan kemaunabagi sutradara bisa menemukan konsep teaternya sendiri.
DKR telah melaksanakan Gelora Teater yang kesepuluh. Kegiatan ini semacam Simposium Teater, dimana setiap peserta menampilkan pengetahuan, pengalaman dan wawasan mereka yang dapat diberikan dan diterima oleh masing-masing peserta. Gelora Teater X membuktikan hal itu. Gelora Teater bukan hanya sekedar seremonial, yang sekedar ramai-ramai tanpa dapat merubah sikap dan prilaku peserta dan penikmatnya. Gelora Teater telah menjadi sebuah upacara ritual, karena dia telah memberi perubahan sikap, imej, visi dan penyegaran terhadap perjalanan perteateran Riau ke depan, baik bagi orang-orang teater itu sendiri maupun bagi orang-orang yang terlibat didalamnya.
Catatan yang perlu diingat dan menjadi landasan kedepan, adalah tampilnya Grup Pancang Siak Kecil, yang meraih Penyaji Terbaik Kedua, The Best Aktor dan Aktris, serta Pemeran Pembantu Terbaik Pria. Hal ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan, bahwa Pancang Siak Kecil sangat konsisten dengan bentuk konsep drama klasik, penyutradaraan, pemeranan, dan desing artistik, memenuhi kereteria metode teater konvensional.
Sanggar Mini Teater dari Rengat, mendapat kehormatan sebagai Penyaji Tebaik Pertama, Sutradara Terbaik dan Artisti Terbaik. Membawajan cerita Pralaya karya Fedli Aziz tampil dengan keberanian: Mengganti destar dengan dasi, mengganti teluk belnga dan kebaya labuh dengan kemeja plus pantalon, mengganti capal dengan sepatu, set-dekorasi diganti tabir berwarna putih–air dengan dasar kain yang lembut. Dibantu alat canggih berama multimedia. Selanjutnya apa yang terjadi? Ketika ruang gedung gelap-gulita munculah beberapa potong gambar: Soekarno dengan pakaian kebesarannya sebagai Kepala Negara RI; Aidit, yang kita kenal sebagai pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) ; beberapa gambar kerusuhan yang terjadi di ibu kota.
Potongan-potongan gambar ini berjalan dari plafon, lantai dan dindinggedung tempat pertunjukan. Saat lampu mulai menerangi pentas dengan cahaya temaram terlihat beberapa orang dengan berpakaian rapi; kemeja putih, pantalon hitam, pakai dasi, mengingatkan kita pada kostum Randai Kuantan. Satu-persatu ketokohan mereka diperkenalkan dengan mengambil tempat dipojok pentas, sebagaimana permainan sandiwara akan memulai pertunjukannya. Tabir lembut berwarna putih-air sekali-kali difungsikan sebagai ilustrasi memperkuat suasana adegan yang sedang berlangsung. Sekali-kali dimainkan dalam fungsi sebagai selingan pengganti babakan. Sementara alat multimedia mencoba mengurung audiens/penonton dala suasana khaos yang sedang berlangsung, dengan menayangkan potongan-potongan gambar pada plafon, dinding dan lantai.
Demikianlah Pralaya karya Fedli Aziz diusung oleh Mini Teater dari Rengat ke dunia fantasi, tidak saja sedert kata yang diucapkan para pelaku, akan tetapi juga oleh lambang-lambang yang mewakili kemauan dan kehendak sutradara yang tak terwakilkan oleh kata-kata.
Selanjutnya jadilah pertunjukan itu suatu tontonan yang mengasyikan sekaligus menyenangkan. Membingungkan sekaligus memabukkan. Dan ketika semua telah usai, sadarlah kita, bahwa lambang-lambang juga memegang peranan penting selain kata-kata. Dan yang perlu digarisbawahi Gelora Teater X 2008 telah membuka ruang imajinasi yang selama ini terkurung dalam kabut romantisme masa lalu.
Hidup perlu pencerahan, pergerakan dan pembaharuan. Salam takzim untuk DKR, panitia dan seluruh peserta Gelora Teater X.

Taufik Effendi Aria adalah penilmat dan pencinta seni. Tinggal di Pekanbaru.

sejarah kita sejarah yang baru

Teater Pelajar dan Ruang Lingkup Kreativitas Berkarya
Oleh : Tina Aprida Marpaung, S.Pd.

Teater Pelajar lebih berkonotasi pada teater sekolah menengah umum maupun kejuruan (SMP/MTs; SMU/MA; SMK). Di samping teater pelajar, juga dikenal istilah teater remaja yang lebih berkonotasi pada teater kalangan SMU/MA maupun SMK.

Teater remaja bukan semata-mata kalangan sekolah. Mereka juga kalangan yang putus sekolah atau yang berada pada tingkat usia remaja atau di bawah dua puluh tahunan. Entah sejak kapan nama teater pelajar ini muncul dan untuk apa pula penamaan semacam ini digunakan. Teater pelajar, merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pertumbuhan teater itu sendiri. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI) -dalam hal ini Pusat Perbukuan, bekerjasama dengan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP)- bahkan sedang merancang buku pelajaran teater untuk SMP/MTs; SMU/MA; dan SMK, baik negeri maupun swasta.

Apabila kita menilik ke belakang, kalangan terpelajar Indonesia masa lalu atau setidaknya era Boedi Oetomo, telah mulai melakukan berbagai upaya transformatif. Embrionya dimulai dengan munculnya “Komedi Stamboel” di akhir abad sembilan belas. Rombongan ke dua teater ini muncul di Surabaya pada 1891. Di Sumatera Utara sendiri lebih kepada Teater Bangsawan.

Kegairahan terhadap teater, khususnya teater yang bernuansa melayu sedemikian besar. Teater-teater rakyat yang muncul lebih dahulu dengan media tutur dan berkembang ke dunia panggung teater, tidak pernah luntur. Bahkan, teater-teater rakyat, mampu menciptakan persaingan yang sehat, hingga zaman keemasannya pada 1920-1930-an.

Dalam memasuki abad ke dua puluh, juga diwarnai munculnya teater opera Cina pada 1909. Nasibnya tak lebih baik dengan Komedi Stamboel yang mulai melemah dengan lahirnya kegairahan baru dalam memahami idiom maupun metode teater yang datang dari Rusia dan Inggris, bahkan Jerman, Perancis, Amerika. Negara-negara Skandinavia pun turut menyumbangkan pandangan-pandangan baru teater selanjutnya. Dengan demikian, kalangan terpelajar Indonesia yang masih berada di bawah penjajahan Belanda maupun Jepang memiliki banyak kesempatan memahami berbagai disiplin maupun pandangan teater.


* * *

Paling tidak sejak 1913, kalangan terpelajar Indonesia menikmati karya Victor Ido yang diterjemahkan oleh Lauw Giok Lan menjadi Karina Adinda, seperti ditulis oleh Tjiong Koen Bie (1913) dan Jacob Sumardjo (1992). Kesadaran baru pada masa-masa itu, melahirkan banyak lakon-lakon perjuangan, tanpa mengurangi upaya-upaya penerjemahan maupun saduran dan adaptasi yang terus menerus terhadap lakon-lakon yang datang dari dataran Eropa.

Setelah tiga puluh tahun Indonesia merdeka, terjadi sejumlah perubahan yang mendasar. Saat inipun masih dapat kita saksikan, kalangan terpelajar kita menggunakan lakon-lakon yang seharusnya sudah mereka ‘reformasi’ untuk kepentingan diri mereka. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar teater pelajar, justru tidak memotivasi diri mereka sendiri, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Mereka masuk dalam kubangan motif pertunjukan yang mengasingkan mereka pada dunia keseharian. Hanya beberapa kelompok teater pelajar mencoba melakukan berbagai penggalian, untuk menemukan karakter teater dari kalangan terpelajar yang mereka sandang sebagai bagian dari identitas mereka.

Motif pertunjukan yang menjadi dasar pada teater pelajar sekarang ini, berdampak cukup serius pada rendahnya apresiasi teater yang mereka hidupkan. Ini disebabkan pengambilan bahan-bahan pertunjukan yang semata-mata pada teks lakon, apalagi teks lakon “diwajibkan” pada mereka untuk menggunakannya. Sementara itu, media untuk memasuki teks-teks lakon, sangatlah terbatas. Keterbatasan, bukan saja karena asumsi perkembangan teater yang masih belum memadai dalam menghadapi pertumbuhan aktivitas diluar teater, tetapi juga keterbatasan motivasi yang telah terlanjur menjadikan teater semata-mata sebagai sebuah pertunjukan.

Bagi kalangan sekolah, suatu aktivitas siswa dilihat dari kemampuan siswa untuk meraih prestasi yang mengharumkan nama sekolah. Dengan kata lain, kegiatan atau aktivitas berteater di sekolah tidak dilihat dari proses pencapaian teater dan dampaknya pada aktivitas belajar. Lebih ironis lagi, masih terdapat sejumlah sekolah yang melakukan larangan tidak tertulis, berteater di sekolah diharamkan. Tidak ada sarana, apalagi izin untuk mengikuti kegiatan teater.

***

Masing-masing wilayah di Indonesia, memiliki tingkat yang berbeda dalam memasuki dunia teater. Bahkan, antar wilayah di Sumatera Utarapun memiliki perbedaan signifikan satu sama lainnya. Hal ini ditentukan oleh tingkat pergaulan teater dengan berbagai pemahaman teater.

Teater pelajar di sejumlah kota-kota besar di Indonesia, barangkali cukup beruntung. Sejarah teater dan sejarah teater pelajar kita, memberikan isyarat sangat tegas. Teater berjalan beriringan dengan nafas kehidupan publiknya. Pada tingkat selanjutnya, teater menjadi jembatan dalam memahami pertumbuhan yang bergejolak disekitarnya. Akhirnya teater tidak pernah berakhir di panggung pertunjukan. Teater berkelebat dalam darah, dalam nadi, di jantung, di hati dan ditengah-tengah denyut kehidupan semua orang, semua pihak.

Problem Penyutradaraan

Teater sekolah saat ini dapat berlangsung dalam tiga aspek apresiasi dan kreasi.
1) teater di dalam kelas, 2) teater untuk kompetisi sekolah, seperti festival maupun lomba dan 3) teater untuk terapi. Ke tiga aspek ini dapat dilakukan hanya dalam satu aspek, dapat pula dilakukan secara bersamaan.
Konsepsi dasar teater di dalam kelas, memahami karakter antar manusia sebagai bagian dari proses sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Teater di dalam kelas dapat mengambil tema-tema yang terjadi di sekitar lingkungan siswa. Mereka apresiasi peristiwa-peristiwa yang terjadi, membuat kerangka cerita, dan menentukan peran-peran yang bisa mereka lakukan. Setelah ketiga langkah ini diselesaikan, maka para siswa bisa memperagakannya di depan kelas atau di tempat duduknya masing-masing, tanpa terbebani oleh masalah teknis artistik panggung. Guru cukup memfasilitasi dan melakukan pengawasan terhadap aktivitas siswa.

Jika kita bekerja untuk teater yang berorientasi pada kompetisi siswa –semacam festival, maka terdapat beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, pahamilah apa yang ditentukan oleh penyelenggara, termasuk instrumen penilaian yang akan digunakan. proses selanjutnya adalah berlatih. Penyutradaraan merupakan salah satu aspek penting yang dapat meminimalisir kekurangan pada aspek lain –artistik dan pemeranan.

Aspek penyutradaraan tersebut adalah a) menentukan nada dasar. Ibarat sebuah partitur lagu, nada dasar akan menentukan arah nada selanjutnya. Nada dasar suatu teks maupun naskah dapat dilakukan dengan memahami titik tolak dari suatu teks. Misalnya, cerita tentang seorang rentenir yang kejam. Pahamilah terlebih dahulu akar kekejaman (titik tolak untuk nada dasar) seorang rentenir yang akan dijadikan pijakan.

Ikutilah terus pergerakan atau alur kekejaman. Buatlah gradasi dari setiap perubahan alur tokoh ini; Aspek selanjutnya b) membangun dinamika ruang. Artinya, ruang pertunjukan benar-benar hidup sepanjang pertunjukan. Penonton diharapkan tidak berkedip sedikitpun dan selalu memandangi panggung. Dinamika ruang ini tercipta melalui berbagai kemungkinan interaksi, baik antar individu, bunyi maupun dengan peralatan atau perabotan yang telah disiapkan.

Aspek lain, spontanitas menjadi ciri khusus dalam teater-teater Asia, termasuk Indonesia. Ciri ini membawa bentuk-bentuk teater di Indonesia lebih komunikatif, interaktif dan dapat membangun muatan lokal dan kearifan lokal yang kondusif. Selain bercirikan spontanitas, teater Indonesia juga memiliki kemungkinan dalam pengembangan pengolahan tubuh yang berkorelasi dengan pembentukan kepribadian. Selain pengolahan tubuh, pikiran dan suara, mengolah tubuh juga berkaitan erat dengan pengolahan komponen kejiwaan yang sejalan dengan nilai-nilai etis, moral,sosial dan kultural. Pengolahan ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya diri siswa dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya, termasuk dalam mengikuti proses pembelajaran.

Sisi lain adalah gaya pertunjukan. Sumatera Utara (Medan) banyak memiliki sutradara dengan berbagai gaya (style) yang bersifat teknis, misalnya style internal progressive, gaya penyutradaraan yang berangkat dari potensi diri para pemainnya. Para pemain didorong untuk mengkonstruksi tubuhnya –maupun ucapannya sendiri. Sedangkan style external progressive lebih menekankan kemauan sutradara. Kemauan sutradara bisa masuk pada tingkat pembentukan teknis ruang, seperti komposisi, dinamika pengisian ruang yang memang hampir tidak mungkin dilakukan seorang pemain.
Semoga bermanfaat…