Jumlah Pengunjung Saat Ini

Senin, 28 Desember 2009

ROH foto eva tobing dkj-Mini teater Kabupaten Indragiri Hulu Riau berjudul Roh karya Wisran Hadi di Balai Latihan Kesenian, Jakarta.




























































pangeran terubuk



LAPORAN DARI YOGYAKARTA
Romeo and Juliet van Melayu
26 Jun 2009 19:11 wib


YOGYAKARTA (RiauInfo) - “Ada Melayu di Jawa”. Itulah tema besar yang diangkat dalam Perhelatan Seni Budaya Melayu yang digelar pada (23/06) di Taman Budaya Yogyakarta. Acara yang diselenggarakan oleh Panitia Bersama Ikatan Pelajar Mahasiswa Riau Yogyakarta ini menyuguhkan beberapa rangkaian mata acara, yaitu Bazar Buku Budaya; Seminar Budaya Nasional; dan ditutup dengan Pertunjukan Opera Melayu (kolosal) dengan mengambil judul “Pangeran Terubuk”.

Racikan music orkestra dengan balutan vokal direktor dari Apollosius, terasa memberi keterikatan sangat prima dalam mengangkat performa pertunjukan opera Melayu (kolosal). Pertunjukan opera Melayu sendiri merupakan acara penutup dalam rangkaian Perhelatan Seni Budaya Melayu.

Hadir dalam acara ini, antara lain Rida K. Liamsi, Chief Executive Officer (CEO) Riau Pos Group dan Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budayaan Melayu, Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M.
Opera karya Marhalim Zaini dengan direktor Ade Puraindra dan music Bayu Arsiadi ini, dimulai tepat Pukul 20.30 WIB.

Sebelum opera dimulai, terlebih dahulu diisi dengan kata sambutan dari Ketua Panitia, Fery Mardiyanto dan perwakilan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X yang diwakili oleh dra. Dian Anggraini Rais selaku pengelola dari Taman Budaya Yogyakarta.

Dalam kata sambutannya, Fery Mardiyanto menggarisbawahi tujuan digelarnya Perhelatan Seni Budaya Melayu ini adalah memberikan frame bahwa Mahasiswa Riau merupakan mahasiswa yang berkarya dan berbudaya. Sedang dra. Dian Anggraini Rais, mengungkapkan bahwa keberagaman etnis bukanlah sebuah ancaman, melainkan, “... semen perekat dalam kehidupan multi etnis dalam berbangsa dan bernegara”.

Acara penutup yang menyuguhkan opera Melayu (kolosal) sendiri merupakan hasil kerjasama dari Sri Gelegar Orchestra pimpinan Apollosius, Seni Kepompong Riau, SMKN 2 Kasihan Bantul, Seni Teku Yogyakarta dan berbagai elemen independent lainnya. Pertunjukan dengan judul “Pangeran Terubuk” ini mengisahkan kisah cinta Romeo and Juliet van Melayu.

Karakter Pangeran Terubuk yang dimainkan oleh Rocky Marciano, menceritakan kisah percintaan antara Pangeran Terubuk dari Kerajaan Lautan dengan Puteri Puyu-Puyu dari Kerajaan Daratan. Kisah cinta dengan unhappy ending story ini berakhir tragis dengan kematian dari sang pangeran demi mendapatkan cinta dari sang puteri.

Beragam intrik sempat diangkat lewat cerita ini. Mulai dari hasutan yang melanda Kerajaan Daratan yang datang dari Menteri Belut selaku bawahan dari Pangeran Terubuk, fitnah yang menghujam Menteri Tengiri, hingga ambisi dari Puteri Puyu-Puyu yang harus tertahan karena keterikatan dengan kerajaaan, meski sebenarnya dirinya juga menaruh perasaan cinta pada sang pangeran.

Warna-warni pakaian dari pengisi acara menambah semarak semangat nilai kolosal dari opera yang dibawakan. Atraksi panggung dengan beragam warna bendera, semakin mengukuhkan suasana kolosal yang terbangun. Bahkan singgasana sang pangeranpun tersusun dari rangkaian tubuh dan tangan para penari sebagai pengganti properti.

Semua merupakan jalinan antara suara, musik, dan tubuh pemain. Sehingga keprimaaan dari penguasaan panggung, karakter, hingga olah vokal dari masing-masing pemain, musti terjaga benar kualitasnya.(ad/rls)






Geliat Gelora Teater Riau XI







Geliat Gelora Teater Riau XI 31 Oktober 2009 http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=6421&kat=11 GELORA Teater Riau XI merupakan kegiatan tahunan yang rutin telah berjalan lebih dari satu dasawarsa. Di tahun yang ke-11 ini diselenggarakan 28-31 Oktober 2009 di Gedung Auditorium Dewan Kesenian Riau (DKR) yang dimulai dari pukul 19.30-selesai. Acara tahunan yang diselenggarakan oleh DKR tahun ini menampilkan 10 penampilan kabupaten kota yang masing-masing mewakili kabupaten kotanya masing-masing maupun sanggarnya. Satu dari 10 peserta yang saya ketahui adalah Sempene Teater Riau, perwakilan dari Indragiri Hulu yang didirikan dua bulan yang lalu yang memang dikondisikan untuk acara ini, menggantikan mini teater yang dua tahun terakhir Gelora Teater Riau keluar sebagai juara umum. Mini teater sendiri tidak tampil lagi tahun ini karena telah dianggap menjadi master teater yang sekarang membina teater Inhu. Walaupun masih baru, Sempene Teater Riau ini sudah mulai membuka diri dengan komunitas teater di luar Sumatera, dengan cara sharing salah satunya. Dalam pementasan perdananya 30 Oktober nanti di Gelora Teater Riau XI mereka akan mementaskan Ranggung dalam Perjuangan karya Salimi Yusuf. Karya naskah yang dibuat tahun 1993 mengangkat tema cerita dengan atmosfer pertunjukan 1973 di tanah Logas, Taluk Kuantan. Namun, malam pertama Gelora Teater Riau XI yang saya hadiri terasa kurang tertata dan membosankan. Dan sepertinya antusiasme warga Riau sendiri terhadap acara ini bahkan bisa dikatakan tidak terasa. Acara ini seharusnya menjadi acara besar dan membanggakan bagi masyarakat Riau sendiri, khususnya bagi orang-orang teater sendiri. Sedangkan gedung yang tidak terlalu besar saja tidak terlalu dipenuhi penonton. Dan atmosfir yang dirasakan penonton sendiri seperti jenuh dan membosankan. Hal ini terlihat dari gelagat penonton yang mulai beranjak di tengah-tengah acara dan beberapa penonton juga malah ada yang tiduran. Berbeda sekali dengan Festival Teater Jogja yang diselenggarakan Juli-Agustus yang lalu. Antusias dan semangat yang dirasakan tidak hanya datang dari para penonton, namun juga para kreator dan kelompok-kelompok teater yang ada. Dalam setiap pementasan pesertanya selalu dipenuhi penonton yang tidak hanya dihadiri oleh pekerja dan peminat seni saja, namun juga oleh warga sekitarnya, tua, muda, juga ada anak-anak. Festival Teater Jogja dan Gelora Teater Riau merupakan sama-sama agenda tahunan yang menghasilkan pemenang tiap tahunnya. Sedangkan FTJ diadakan tiga tahun sekali dengan sistem kurasi yang diselenggarakan setiap tahunnya. FTJ dengan dana yang sangat minim tetap berusaha diselengarakan dan dinikmati oleh seluruh masyarakat yang menjadi penontonnya. Namun, kenapa di Riau ini peminat dan perhatian terhadap seni pertunjukan teater masih kurang? Apakah karena seni teater sendiri masih sangat jauh dengan penontonnya? Atukah tidak adanya dedikasi yang keras dari para pelakunya untuk mengembangkan teater di Riau menjadi lebih berkembang? Di umur Gelora Teater Riau yang ke-11 ini seharusnya telah mampu membangkitkan teater Riau. Namun untuk membangkitkan teater Riau juga perlu dukungan dan apresiasi dari masyarakat dan pemerintah daerahnya sendiri. Tidak ada salahnya Gelora Teater Riau ke depan mencoba sistem kurasi yang mudah-mudahan mampu memacu para kreator Riau untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Penuh harapan, melalui Gelora Teater Riau ke depan, teater Riau mampu bangkit dan hidup seterusnya, serta mampu membangkitkan minat dan apresiasi masyarakat Riau terhadap seni pertunjukan teater. Sukseskan Gelora Teater Riau tahun ini dan Teater Riau ke depan.*** Dessy Kamila Sari, mahasiswa Sastra Inggris UAD Yogyakarta sedang berada di Pekanbaru.






Potensi Sutradara dan Aktor Belum Matang
Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru fedliazis@riaupos.com
Gelora Teater XI se Riau, 28-31 Oktober baru saja usai. Tiga dewan pengamat yang bertungkus-lumus memberikan penilaian selama empat malam berturut-turut menegaskan, bahwa Riau memiliki potensi besar untuk berkembang. Sayangnya, potensi-potensi tersebut tidak tergarap secara maksimal sehingga karya-karya yang dihasilkan belum menunjukkan hasil memuaskan.


HARUS diakui, bahwa karya-karya yang diikutsertakan dalam helat teater Dewan Kesenian Riau (DKR) tahun ini menurun tajam. Selain jumlah peserta, kualitas karya juga mengalami penurunan. Tidak hanya itu, beberapa grup yang selama ini bersaing ketat juga absen sehingga pelaksanaan helat tersebut tidak dapat dibanggakan sama sekali.

Meski demikian, namanya lomba, dewan pengamat harus memilih pemenang, meski cendrung bersifat membagi sekedar memotivasi semangat berteater bagi para pelakunya. Untuk tahun ini, peserta asal Rengat-Indragiri Hulu yakni grup Sempene Teater Riau mendominasi dengan meraup tiga kategori puncak antara lain penyaji terbaik, sutradara terbaik dan aktor terbaik. Sedang sedang empat kategori lainnya berbagi antara Pekanbaru, Bengkalis dan Rohil. Aktris terbaik diraih Ika Elizar asal Sanggar Kosan dan artistik diraih Saharudin Sanggar D?Srai (Pekanbaru). Sedang pemeran pembantu pria terbaik diambil Iqbal asal Sanggar Balairung (Rohil) serta pemeran pembantu wanita terbaik diraih Nia asal Sanggar Pancang Siak Kecil (Bengkalis).

Salah seorang dewan pengamat Edi Suwisnyo (STSI Padangpanjang) menjelaskan, potensi besar tidak akan dapat memberikan hasil baik jika tidak dibarengi penggarapan baik pula. Mau tidak mau, nyaris seluruh peserta dinilai tidak kreatif dalam hal pencapaian sebab karya-karya yang ditampilkan masih tanggung, bahkan mentah. Padahal untuk menghasilkan karya-karya itu bukan dari sebuah hasil yang pendek, melainkan melalui proses yang cukup panjang.

Selain itu, banyak pula sutradara, apalagi aktor tidak mampu mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya. Alasannya, ketidakmengertian terhadap naskah serta terlalu memudahkannya tanpa mempertimbangkan persoalan penting dalam sebuah kerja kreatif. Akibatnya segala unsur pendukung seperti pengolahan penyutradaan, keaktoran, penataan panggung, pemilihan warna, kostum, make up dan lainnya masih perlu digarap dengan upaya pembelajaran-pembelajaran yang intens.

?Harus diakui, peserta yang tampil memiliki potensi besar tapi belum tergarap secara maksimal sehingga karya-karya mereka kami nilai tidak kreatif. Ke depan, jadikan tahun ini sebagai pengalaman untuk menghasilkan karya terbaik pada tahun berikutnya,? ulas Edi kepada Riau Pos, Ahad (1/11) di Gedung Teater DKR, Komplek Bandar Serai, Pekanbaru.

Seorang dewan pengamat lainnya Suharyoto Sastro Suwitnyo (mas Aryo) menambahkan, karya-karya yang ditampilkan juga tidak satupun mengangkat kondisi lokal hari ini. Sebagian besar pengkarya hanya mengulang-ulang kembali karya-karya Melayu sebelumnya seperti mengambil naskah Burung Tiung Sri Gading Karya Hasan Junus tanpa memberikan interpretasi kekinian. Selain itu, karya Melayu lain yang terkesan verbal karya SPN GP Ade Darmawi Mahkota Jiwa dan karya Usman Awang (sastrawan Malaysia) serta banyak lagi.

Padahal masih banyak naskah yang lebih baik untuk mewakili kondisi Riau kekinian melalui interpretasi sang sutradara. Keinginan tersebut harusnya lebih digali sehingga karya yang ditampilkan bisa lebih aktual dan memberikan pencerahan-pencerahan. Tidak dipungkiri, bahwa karya-karya sastrawan lokal memiliki unsur edukasi dan pencerahan tapi sang sutradara hanya menuangkan begitu saja di atas panggung.
Saya berharap, ke depannya karya-karya yang ditampilkan jauh lebih maju dan memiliki pesan moral dengan nuansa kelokalan,? tambahnya mengakhiri.(fed)
kotakata.File