Jumlah Pengunjung Saat Ini

Rabu, 24 Februari 2010

s.

lalu aku gagal dalam sisa waktu ?
entahlah.

aku sekali lagi harus bertekuk lutut dan atau dengan sengaja di tekuk lututnya oleh penyakitan.
maka, yang tertunda hanyalah sebuah sisa-sisa dari helaan nafas yang sekali duanya selalu mencandu masuk kealam imajinasi kreatif dalam cipta teater, hidupku.

berkhayal sekalipun,...aku tak sempat lagi.
dasar!!! penyakitan!!!.

Sabtu, 13 Februari 2010

EVALUASI GAGAS TEATER / 13 FEB 2010

GAGAS TEATER hanya sebuah konsep dari pemaknaan ruang persentasi ajang dekade 2 bulan sekali atas kerja kreatif yang diadakan secara bertahap dan berkala setiap seminggu sekali oleh sempeneRIAUteater INDRAGIRI HULU [SI] dalam Kelas Laboratorium Seni Teater. Bahwa kemudian GAGAS TEATER di anggap sebagai ajang coba-coba bisa pula dikatakan “ya” ; atas sebuah kesempatan dengan segala kemudahan prasarana yang tersedia dengan gratis yang diberikan kepada anggota kelas terdaftar sebagai peserta didik dalam Kelas Laboratorium Seni Teater tersebut. Konsep GAGAS TEATER yang mengesankan keminiman dan kemiskinan atau lebih kasar lagi adalah ketiadaan ini, secara tidak langsung telah mengusung sebuah semangat penampilan yang harus bagus—harus sempurna—harus berkesan para penyajinya : para peserta didik. Malam perdana GAGAS TEATER yang bertepatan diadakan pada kesempatan pergantian tahun cina (IMLEK) dan hari semangat kasih sayang (VALENTINE) telah secara langsung mengsugesti semangat kreatif dari SATEPENSA (SMP 1 RENGAT), DAyung sereMPAK TEATER (SMK 1 Rengat) dan Sanggar Seni Danau Raja (SSDR TEater) tampil maksimal dalam karya bertema ‘1 x 1 = 8 (kosong)’ Selamat !! sempeneRIAUteater I N D R A G I R I H U L U SATEPENSA Dalam karya visualisasi puisi “AKU DAN ANAK KEMBARKU, DAN ANAKKU YANG SATUNYA LAGI YANG BUAT PARTAI BARU” Viva teater !!! Kemutlakan atas sajian yang berdurasi 13 menit 26 detik itu terkesan ‘mau cepat selesai dan malu-malu tapi mau’. Kemudian silahkan mengejawantahkan maksud dari kesan tersebut. Sisi positifnya: SATEPENSA berhasil menyulap ruang pentas ala kadarnya (sesuai konsep GAGAS TEATER) dengan penuh maksimal dan menciptakan sensasi tontonan logis serta meng“kena” karena unik (yang walaupun lemah dan membosankan; dari kacamata keilmuan teater). Uniknya lagi kelompok SATEPENSA adalah satu-satunya kelompok yang paling minim latihan di lokasi pementasan selama jadwal yang telah disediakan sebelum persiapan acara telah berhasil menganulir masa penonton dengan sensasi kekagetan-kekagetan (bahasa teaternya: suspent) /kejutan-kejutan pola bloking yang sulit ditebak—entah karena memang sudah konsepnya demikian, atau memang belum direncanakan matang hingga sampai ke waktu pertunjukan sedikit terasa m e n g g a n j a l. Kemana singkronisasi puisi yang dibacakan dengan cara mendeklamasi itu dengan visual yang coba ditampilkan ?.... siapa tokoh sentral pembangun plot penceritaan dalam puisi itu?... apa yang membedakan pelaku utama-pelaku pembantu serta para figure dalam visualisasi puisi “AKU DAN ANAK KEMBARKU, DAN ANAKKU YANG SATUNYA LAGI YANG BUAT PARTAI BARU”?... atau memang sudah ingin dibuat adanya penyamaan tingkat fungsi pemeranan dalam visualisasi puisi oleh SATEPENSA ini?... dan yang paling penting adalah : pesan yang ingin disampaikan apakah dapat dimengerti oleh penonton atau tidak?... Jika ingin membuat visual pikirkan pula dampak visual apakah dapat dimengerti oleh penonton? Dan dapat sesuai dengan puisi yang disampaikan. Jika harus memakai property maka maksimalkanlah penggunaannya bukan hanya sekedar barang pajangan atau pembuat “heboh” saja. Jika harus memberika tontonan kepada penonton maka jadilah aktor dan artis yang mengenal hokum dimensi tokoh dengan cara pembedahan secara psikologis,sosiologis dan fisiologis. SSDR Te Dalam karya visualisasi puisi “ORANG GILA” Setidaknya kami para pelaku seni dalam [SI] tahu benar komunitas SSDR TE beberapa tahun terakhir memegang prediket komunitas teater remaja T E R B A I K di R I A U yang telah menelurkan aktor dan artis berbakat termasuk pola penyutradaraan dengan konsep tata artistic yang sempurna. Maha kaya dalam dimensi kreatifitas yang serba lebih baru dan lebih berkembang ketimbang komunitas teatere remaja lainnya di Riau. Tetapi, kejanggalan kami rasakan dalam penampilan malam GAGAS TEATER ini. SSDR Te kehilangan kemaha-dahsyatan pola teater mereka. “yang biasanya meng-aum- di Riau kini menjadi meng-ngeong- di kota tercintanya RENGAT. Ada catatan penting yang harus dijaga yaitu : konsistensi kepada latihan-latihan dasar ilmu teater dan pembekalan semangat tim (kolektifitas) dalam kerja kreatif yang satu sama lainnya musti mau berkorban dengan keikhlasan untuk lelah,capek,mual,muntah, bahkan mati dalam sebuah persiapan pementasan. Teater tidak bisa mengadndalkan satu tokoh utama pengeraknya. Teater adalah kerja kebersamaan yang menuntut makna kerja seni, kerja menghidupkan tokoh, kerja pertunjukan, kerja lprtunjukan langsung (live), kerja nilai kualitas pementasan, kerja nilai dramaturgi dengan 4 aspek ketentuan wajibnya. Membuka kembali buku-buku pedoman teater yang mungkin selama ini tersusun rapi di lemari adalah jawabannya. Atau mengumpulkan dan meredaksikan kembali ilmu para aktor-artis terbaik adalah jalan instant perbaikan komunitas ini. Mengakrabkan kembali kebersamaan tim dan kolektifitas kerja dengan jalan yang paling sederhana yaitu membedah naskah serta menjadikannya objek latihan jangka menegah untuk kemudian di pentaskan ke public. SSDR TE tempat lahirnya pelaku muda seni teater yang banyak diantaraya kemudian teatap menjadi pelita bagi perkembangan dunia seni teater yang jujur adanya adalah seperti sebuah judul naskah lakon “sumur tanpa dasar”. 1 x 1 : 8 [kosong] - gagal dalam persepsi yang ingin dibentuk. - gagal dalam cita-cita artistic - gagal dalam dramatig musikalisasi - gagal dalam maksud pertunjukan out door yang semustinya mampu menjemabk penonton dalam baluran saling komunikatif - berhasil dalam keseriusan cerita - berhasil dalam beberapa teknik-teknik dasar pembentukan laku lakonan - berhasil dalam kebersamaan (kolektifitas)

Rabu, 10 Februari 2010

Pentas Hibrida Teater Koma

Pentas Hibrida Teater Koma

Minggu, 7 Februari 2010 | 03:20 WIB

Oleh Putu Fajar Arcana

Nyaris dalam setiap pentas Teater Koma selalu tampil megah, dengan tata kostum dan ”setting” panggung yang ”agung”. Panggung gemerlap itu tidak saja bermakna membedakan ”realitas” pentas dengan realitas sehari-hari, tetapi Koma justru secara ”jamak” meneruskan tradisi yang ada dalam teater rakyat.

Pementasan lakon Sie Jin Kwie sebuah karya China klasik, 5-21 Februari 2010 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, memperlihatkan betapa N Riantiarno sangat memerhatikan ”keagungan” itu. Seluruh ruangan di belakang panggung nyaris semuanya dipenuhi oleh properti, yang menjadi penanda pergantian adegan.

”Enggak tahu, saya kok tiba-tiba ingin properti yang begitu lengkap,” tutur Riantiarno, di belakang panggung sesaat menjelang pementasan perdana lakon itu.

Secara konsep, sesungguhnya tak ada yang istimewa dalam penyiapan properti itu. Nano, begitu sutradara Teater Koma ini dipanggil, hanya meneruskan apa yang sesungguhnya sudah dikerjakan oleh teater-teater rakyat. Bedanya, kini Nano menganggap setting dan properti itu sebagai hal yang perlu digarap serius. Ia bahkan harus mengerahkan puluhan ”orang hitam” (petugas pengganti setting panggung) untuk mendorong, mengangkat, mengganti, dan memasang latar belakang itu.

Alhasil, secara keseluruhan pentas Sie Jin Kwie terasa lebih ”sibuk”. Hampir-hampir tidak ada jeda di atas pentas. Menjelang satu adegan selesai, ”orang-orang hitam” itu sudah supersibuk memasang setting panggung yang baru.

Pemadatan

Ketika Dalang (Budi Ros) mengawali cerita dengan bertutur, di layar belakang juga muncul visualisasi yang menggambarkan kisah kepahlawanan tokoh Sie Jin Kwie. Dan adegan sejajar semacam ini berulang kali dipraktikkan di atas panggung oleh Nano.

Selain itu, kemeriahan panggung, dalam pengertian sebenar-benarnya, diangkat oleh keberanian Nano untuk melakukan ulang-alik antara teater (modern), boneka potehi, dan wayang tavip. Ia bisa dengan seenaknya mengganti adegan teater yang sedang berjalan dengan pementasan wayang tavip. Bahkan pada beberapa adegan, Dalang dan Dalang Wayang Tavip (Tavip S) secara bergantian menuturkan adegan-adegan yang mendukung struktur utama plot: mengisahkan tentang kepahlawanan tokoh Sie Jin Kwie dalam membela negaranya.

Sebagai upaya artistik, pentas ini menunjukkan upaya pencarian Nano untuk melakukan hibridisasi terhadap teater rakyat, teater modern, dan boneka potehi. Ketika Dalang berkisah, sering kali tokoh-tokoh berlaku sebagai boneka potehi dengan mimik dan dialog sebagaimana dalam wayang tradisi China itu.

Hibridisasi tidak menjadi sekadar pemadatan kisahan, tetapi menyenyawakan dua ”zat” teater menjadi satu tubuh yang utuh. Dan di situlah Nano senantiasa mendulang energi pentas-pentasnya selama ini. Lakon-lakon seperti Sam Pek Eng Tay, Konglomerat Burisrawa, Semar Gugat, Opera Ular Putih, Kala, Republik Bagong, Republik Togog, dan Republik Petruk adalah nomor-nomor yang memberi ruang hidup pada hibridisasi.

Hal menarik pada Sie Jin Kwie, Nano harus melakukan studi teks yang intens lantaran kisah yang ditulis oleh Tio Keng Jian dan Lo Koan Chung pada abad ke-14, ini sudah pernah diterbitkan di Indonesia dalam berbagai versi dan bentuk, termasuk komik. Selain itu, kisah klasik ini terdiri dari beberapa episode yang amat panjang.

”Pada draf naskah pertama jika dipentaskan mungkin bisa menghabiskan 7-8 jam, tetapi akhirnya durasinya menjadi sekitar empat jam,” ujar Nano.

Kisah ini menceritakan tokoh pahlawan Sie Jin Kwie (Rangga Riantiarno) yang muncul dalam mimpi raja Lisibin. Sie Jin Kwie akan menjadi penyelamat Lisibin dalam perang Dinasti Tang melawan Raja Kolekok yang takhtanya dikudeta Jenderal Kaesobun (Paulus Simangunsong). Tetapi dalam upaya menjadi tentara, Sie Jin Kwie senantiasa dihalangi oleh para jenderal korup, yang ”menyembunyikannya” di pasukan dapur.

Justru di dapur Sie Jin Kwie membentuk pasukan PD-Tang (Pasukan Dapur Tang), yang kemudian menjadi pengumpul jasa terbanyak dalam perang. Raja Lisibin yang sejak awal mimpinya memerintahkan mencari Sie Jin Kwie baru bertemu pada babak akhir, setelah perang berlangsung 12 tahun. Sie Jin Kwie akhirnya menjadi penyelamat Dinasti Tang setelah mengalahkan Jenderal Kaesobun.

Pentas ini memang belum beranjak jauh dari pentas-pentas Teater Koma sebelumnya. Nano tetap mencoba ”taat” mengikuti struktur dramaturgi yang sudah ia ”bangun” sejak awal pendirian Koma tahun 1977: tetap berangkat dari tradisi kemudian memadukannya dengan pengertian teater Barat. Secara isi, mungkin sudah Barat, tetapi secara bentuk tetap meneruskan bentuk-bentuk teater rakyat.

Mungkin di situlah terjadi hibridisasi, di mana Nano berhasil mentransformasi isi dan bentuk teater rakyat ke atas pentas-pentas modern, yang kemudian banyak menyedot penonton.

Kamis, 04 Februari 2010

kelas laboratorium seni teater mempersembahkan : GAGAS TEATER





sinopsis :

disebuah desa sukardaya indragiri sedang mewabah demam malaria dan demam bola. banjir yang semakin meninggi mengakibatkan nyamuk semakin banyak didesa ini. sejalan dengan wabah malaria yang makin merisaukan, wabah demam bola yang makin membingungkan karena sang primadona si kulit bundar dukungan penduduk desa kalah terus dalam laga liga. desa ini aman-aman saja dahulunya, namun beriring waktu dan munculnya monster drakula penghisap darah segar ekonomi rakyatnya, desa ini terancam.


sabtu , 6 feb 2010
di gedung kesenian kota rengat
"sempene riau" eks bioskop kota rengat.
pukul 19.00-selesai